- Global Voices in Italiano - https://it.globalvoices.org -

Dall'esilio indonesiano a pop star cecoslovacca: un'intervista a Rony Marton

Categorie: Indonesia, Repubblica Ceca, Citizen Media, Diritti umani, Migrazioni, Musica, Politica, Rifugiati

Rony Marton durante una delle sue performance difronte al pubblico cecoslovacco. Foto della collezione privata di Marton, usata con il suo permesso.

Rony Marton non sarà un nome conosciuto in Indonesia ma nella Cecoslovacchia degli anni '70 Marton avrebbe attratto una folla intera.

Era solo uno studente indonesiano che studiava in Europa quando Suharto prese il potere dal presidente Sukarno nel 1965. Il nuovo governo proibì a centinaia di studenti pro-Sukarno di tornare in patria. Questo provocò la più grande fuga di cervelli della storia indonesiana. Suharto governò per 32 anni sotto il regime del Nuovo Ordine [1] [it], fu poi accusato di aver commesso violazioni di diritti umani e corruzione.

Dopo i suoi studi in Cecoslovacchia, Rony divenne un cantante pop durante gli anni 70.

Divenne possibile per Rony tornare [2] [id, come i link seguenti, salvo diversa indicazione] in Indonesia solo dopo la caduta di Suharto nel 1998.

Juke Carolina di Global Voices Indonesia ha intervistato Rony. Lui ha raccontato il suo viaggio dall'Asia all'Europa soffermandosi su come abbia raggiunto il successo nel suo paese di adozione.

Global Voices (GV): Ciao Rony, grazie in anticipo per aver dedicato a Global Voices del tempo per questa intervista. Perfavore, raccontaci di come sei diventato uno studente cecoslovacco.

Rony Marton (RM): Nama saya Jaroni Surjomartono, lahir di Kudus tahun 1943 tapi dari sejak balita hidup di Solo, Jawa Tengah. Setelah lulus SMA sempat kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan ekonomi perusahaan. Setelah kuliah di kampus UGM di Bulak Sumur Jogja, saya menulis permohonan ke PTIP (kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan). Awalnya sebagai mahasiswa ke Jepang, namun ternyata program beasiswa ke sana sudah ditutup. Saya kemudian ikut ujian dan pelatihan selama dua bulan sebelum akhirnya menerima telegram bahwa saya memperoleh beasiswa ke Cekoslowakia.

Rony Marton (RM): Mi chiamo Jaroni Surjomartono, sono nato a Kudus nel 1943 ma sono cresciuto a Solo, Giava Centrale, dove mi sono trasferito quando ero un bambino. Dopo essermi diplomato dal liceo, ho frequentato la Gajah Mada University (UGM) laureandomi in economia aziendale. In seguito, ho continuato gli studi al campus di Bulak Sumur a Giacarta, ho mandato inizialmente domanda al Ministero dell'Istruzione e delle Scienze (PTIP), come studente per studiare in Giappone fino a quando non ho terminato la borsa di studio per il programma. Dopo di che, ho frequentato un corso e mi sono allenato per due mesi prima di ricevere un telegramma nel quale mi è stato detto che avevo ricevuto una borsa di studio per la Cecoslovacchia nel 1963.

Rony Marton (prima fila, il secondo partendo da sinistra), fotografato con L'Associazione Studenti Indonesiani, membri attivi del PPI del capitolo della Repubblica Ceca, e Yenny Wahid, figura politica e figlia del Presidente Abdurrahman Wahid. Foto dalla collezione privata di Marton, usata con il suo consenso.

GV: Cosa è successo dopo il tuo arrivo in Europa e cosa ha ostacolato il tuo ritorno in Indonesia?
RM: Setelah tiba di Praha 10 September 1963 saya dan rombongan pelajar Indonesia yang studi di Cekoslowakia (sekitar 35 orang) mengikuti kursus bahasa Ceko selama 10 bulan,  seusainya kami masing-masing masuk ke universitas pilihan kami, saya masuk ke Perguruan Tinggi Ekonomi di Praha (Vysoká Škola Ekonomická VŠE). Tahun 1965 saya terpilih sebagai Ketua PPI Cekoslowakia – Perhimpunan Pelajar Indonesia Cekoslowakia. Dengan pecahnya peristiwa 30 September 1965, yang berujung kudeta terhadap Bung Karno secara licik oleh Kolonel Suharto dan konco-konconya, serta terjadinya pengkapan, penculikan dan pembunuhan ekstrajudisial ratusan ribu warga Indonesia, semua anggota pengurus PPI Cekoslowakia yang saya ketuai dicabut paspornya sekitar pertengahan 1966 (KBRI Praha yang saat itu dipimpin Dubes Memet Tanuwidjaja tidak memperpanjang paspor yang sudah atau akan habis masa berlaku) dan akhirnya berimbas juga pada anggota PPI (sekitar
100 orang dari total 200 orang). 100 orang anggota kami, memutuskan untuk lepas dari PPI dan bergabung ke organisasi pelajar bentukan KBRI Praha yang juga disebut PPI, mereka yang bergabung dengan PPI KBRI tidak mengalami pencabutan paspor.

RM:Insieme ad altri 35 studenti indonesiani, frequentai un corso di lingua ceca per 10 mesi. Dopo averlo completato, ognuno entrò nelle università rispettivamente scelte. Io sono andato all'Università di Economia di Praga (Vysoká Škola Ekonomická VŠE). Nel 1965 sono stato eletto presidente del PPI della Cecoslovacchia – una diramazione cecoslovacca dell'Associazione Studenti Indonesiani. In seguito al colpo di Stato del 30 settembre 1965 [3] [en] contro il Presidente Sukarno da parte del Colonnello Suharto e del suo entourage, durante il 1996 a tutti i membri del PPI fu revocato il passaporto. L'Ambasciata indonesiana a Praga non rinnovò i passaporti scaduti. All'incirca 100 su 200 studenti del PPI decisero di abbandonare la nostra associazione studentesca e si unirono al gruppo stabilito dall'Ambasciata indonesiana a Praga, a sua volta nominato PPI. A tutti coloro che si schierarono con l'ambasciata fu restituito il passaporto.

GV: Cosa è successo a te e agli altri studenti a cui fu proibito il ritorno a casa?
RM: Sebagai ketua dan pengurus PPI Cekoslowakia yang anti rezim Suharto, kami terdesak menyelesaikan perkara eksistensi pokok 100 mahasiswa untuk bisa tinggal di Cekoslowakia guna menyelesaikan studi masing-masing. Tantangan kami antara lain: mengupayakan izin tinggal dari pemerintah meski kami tidak lagi memiliki paspor, mengupayakan izin melanjutkan studi kami sampai selesai, mengupayakan izin tinggal di asrama pelajar hingga studi kami rampung. Ketiga hal tersebut kami sampaikan ke pihak (pemerintah) Cekoslowakia yang mengurusi persoalan mahasiswa asing yang belajar di Cekoslowakia.
Beberapa minggu kemudian kami mendapat jawaban yang sangat memuaskan, yang terus terang secara pribadi, melebihi target yang kita inginkan. Pertama: kartu penduduk kami akan diperpanjang (meski tanpa paspor Indonesia) sampai masa studi selesai. Juga fasilitas tinggal di asrama pelajar diperpanjang. Kedua: setelah studi selesai kami bisa memilih untuk tetap tinggal di Cekoslowakia, atau pindah ke negara lain (untuk yang ingin pindah, pihak pemerintah Cekoslowakia akan membantu memberi dokumen perjalanan menurut UU PBB, di Cekoslowakia kami mendapat perlindungan sebagai pencari suaka dibawah naungan International Red Cross, cabang Cekoslowakia). Yang ingin menetap di Cekoslowakia diberi izin tinggal tetap, berarti memiliki hak dan kewajiban sama dengan warganegara Cekoslowakia, kecuali hak memilih, dipilih dan wajib militer.
Kondisi-kondisi yang sangat positif ini yng memberikan ketentraman buat kami untuk menyelesaikan studi dan melanjutkan kehidupan kami selanjutnya. Saya pribadi merasa berhutang budí terhadap pihak Cekoslowakia waktu itu, yang kelihatannya tidak lupa akan tradisi historis yang mereka punyai di tahun 30an, pada masa dimana Republik Cekoslowakia memberi suaka kepada warga Yahudi dan yang lainnya yang melawan kekejaman Nazi Hitler di Jerman.

RM:Tra le varie difficoltà che affrontammo ci furono: la richiesta di un permesso di soggiorno per coloro che non possedevano più un passaporto, permessi di organizzazione per poter concludere gli studi, e inoltre permessi di organizzazione per gli alloggi studenteschi. Queste furono le nostre tre richieste al Governo cecoslovacco. Dopo poche settimane ricevemmo una risposta molto soddisfacente, che francamente, andava oltre le nostre aspettative. Per prima cosa: i nostri permessi di soggiorno furono prolungati (anche senza un passaporto indonesiano valido) fino alla conclusione dei nostri studi. I permessi di alloggio per il dormitorio universitario furono anch'essi estesi. In secondo luogo: per completare gli studi avremmo potuto decidere se rimanere in Cecoslovacchia o se trasferirci in un altro paese (per coloro che desideravano spostarsi, il Governo cecoslovacco avrebbe stilato un documento di viaggio in accordo con il diritto delle Nazioni Unite. In Cecoslovacchia, ricevemmo protezione come rifugiati presso la Croce Rossa Internazionale). Per quelli che volevano rimanere in Cecoslovacchia fu dato un permesso di residenza permanente. Queste condizioni furono molto positive e ci diedero la tranquillità di finire gli studi e andare avanti con le nostre vite. Io personalmente mi sento in debito e sono grato al Governo della Cecoslovacchia del tempo, che non mise da parte le sue tradizioni storiche iniziate già negli anni 30, quando la Repubblica della Cecoslovacchia diede asilo ai cittadini ebrei e tutti coloro che furono vittime delle atrocità del Nazismo Hitleriano in Germania.

GV: Cosa successe alla tua famiglia in Indonesia e ai tuoi legami con indonesiani che vivevano a Praga, in seguito al Nuovo Ordine imposto da Suharto?
RM: Praktis setelah paspor kami dicabut akhir 1966, kami tak ada kontak sama sekali dengan KBRI, dan kami dikucilkan oleh masyarakat Indonesia di Cekoslowakia. Mahasiswa-mahasiswa yang pro Suharto tak bergaul dan menyapa kami yang anti Suharto.
Orang tua di Indonesia tahu tentang keadaan saya di Cekoslowakia, 2-3 tahun setelah September 1965, mereka sangat sedih dan prihatin tentang anaknya diperantauan, tapi mereka agak tenang setelah mendengar bahwa kami bisa melanjutkan studi sampai selesai (mungkin dengan harapan Suharto dalam kurun waktu 5-10 tahun akan diganti dengan pemerintahan yang demokratis, ternyata Suharto berkuasa selama 32 tahun). Sepulang Umrah tahun 1978, ibu sempat mampir ke Praha, beliau meminta saya untuk tidak pulang ke Indonesia dulu karena sepak terjang keluarga Suharto di kampung halaman Solo. Beliau rela menelan rasa rindu dengan saya cucunya asalkan kami aman hingga Orde Baru turun. Ibu saya yang amat apolitis pun mampu menilai Orba sebagai rezim yang brutal dan serakah.
Selain pengucilan oleh sejumlah warga Indonesia di Praha, Rony juga mengisahkan bagaimana kerabatnya yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Yugoslavia diminta untuk memutuskan hubungan kekerabatan dengannya.

RM: Subito dopo la revoca dei passaporti alla fine del 1966, i nostri contatti con l'Ambasciata indonesiana terminarono e fummo respinti dagli altri indonesiani che si trovavano in Cecoslovacchia. Gli studenti che supportavano Suharto non volevano mescolarsi con noi che eravamo contro Suharto. I miei/nostri genitori in Indonesia vennero a conoscenza della situazione solo due o tre anni dopo il settembre 1965. Erano molto tristi e dispiaciuti ma furono confortati dopo aver appreso della possibilità di rimanere e continuare gli studi (credevano che Suharto sarebbe stato sostituito 5 o 10 anni dopo da un governo democratico). A ritorno dal suo pellegrinaggio alla Mecca, mia madre venne a farmi visita a Praga e mi chiese di non ritornare in Indonesia per un po’ di tempo per quello che stava facendo la famiglia di Suharto stava facendo alla nostra città d'origine, Solo. Disse che avrebbe accettato la mia assenza, come quella dei suoi nipoti, affinché fossimo al sicuro fino al termine del Nuovo Ordine. Mia madre è una persona apolitica ma, ciò nonostante, fu in grado di cogliere la brutalità e l'avidità del Nuovo Ordine.

GV: Potresti condividere la tua storia di come sei diventato una pop star sensazionale in Cecoslovacchia?

RM: Sejak dari Indonesia saya berkecimpung di seni musik, main gitar dan menyanyi. Di SMAC 4 Solo saya memimpin band sekolah dengan kelompok koor berjumlah 8 orang pemudi. Di rumah, saya memimpin band gambusan (yang sepopuler dangdut zaman sekarang) dan band lagu hiburan. Waktu saya masuk UGM, saya diplonco ikut kontes nyanyi, saya ikut dan menjadi juara satu. Setelah itu saya direkrut jadi penyanyi Band Gama yang waktu itu sangat populer diantara mahasiswa.

Setelah tinggal di Praha, selain aktif membantu program-program kesenian Indonesia buat masyarakat Cekoslowakia, di tahun 1967 saya dan beberapa teman mendirikan Band Matahari yang tampil di kampus-kampus dan juga Klub 007 di Praha 6. Tahun 1970 saya ikut kontes nyanyi se-Cekoslowakia dan meraih juara pertama. Tahun 1973 saya mulai rekaman piringan hitam pertama saya dan tampil di TV Cekoslowakia. Meski ada beberapa orang Ceko yang pada permulaan abad XX yang hidup di Indonesia misalnya pujangga dan penulis Konstantin Beibl [4] yang menulis sajak tentang Nusantara, pengetahuan warga Ceko tentang Indonesia sangat terbatas, jadi kalau saya konser di klub-klub sering saya selingi dengan informasi tentang alam Indonesia. Kenangan paling berkesan adalah saat konser Musim Panas tahun 1975, di panggung terbuka, yang dihadiri oleh sekitar 4.000 murid-murid sekolah, dan mereka bernyanyi bersama saya lagu Batak Sing Sing So. Selain itu saya juga berkolaborasi dengan penyanyi-penyanyi Ceko dan Slovakia sembari merekam beberapa single [5] piringan hitam. Sekitar tahun 1986 saya mengurangi kegiatan konser. Sekarang saya menyanyi sebagai hobi, untuk kegiatan amal atau untuk senang-senang saja.

RM: Avevo cominciato nel mondo della musica suonando la chitarra e cantando già come studente in Indonesia. Al liceo (SMAC) a Solo ero il leader del gruppo, a capo di un coro di otto ragazze. A casa, gestivo una band gambus [6] [it] (oggi meglio conosciuto come dangdut) e una band di generi diversi. Quando ero uno studente all'UGM, c'era molto bullismo di gruppo [7] [it] che coinvolgeva la gara di canto. Ho partecipato e l'ho vinta. Sono stato ingaggiato come cantante in una band chiamata gara, al tempo la band era molto popolare tra gli studenti. Nonostante ci fossero alcune personalità ceche all'inizio del ventesimo secolo che si ispirassero o vivessero nell'arcipelago Indonesiano, come il poeta e autore Konstantin Biebl [8] [it], la conoscenza indonesiana del pubblico cecoslovacco era molto limitata. Per cui, ogni volta che mi esibivo prendevo del tempo per parlare dell'Indonesia e della sua storia. Uno dei ricordi più memorabili durante la mia carriera avvenne mentre mi esibivo a Batak, cantando una canzone che si chiama Sing Sing So [9] in un luogo all'aperto. Ho anche collaborato con molti cantanti famosi slovacchi e cechi per registrare alcuni singoli [5] in vinile. A partire dal 1986, ho diminuito il numero di concerti. Ora canto solo ad eventi di beneficienza o per divertimento.

GV: Fai parte della generazione della “fuga di cervelli” a causa della politica del Nuovo Ordine. Hai alcuni commenti al riguardo e cosa speri per il futuro indonesiano?

RM: Brain drain adalah hal positif untuk pihak yang memanfaatkan dan negatif untuk negara asal. Berkaitan dengan situasi yang kami alami tahun 1965, situasi dan kondisi serta sebab dan akibatnya sangat berbeda. Orba melarang kami pulang karena alasan politik dan seandainya kami pulang tentu setidaknya kami akan dipenjara atau dipetruskan (catatan redaksi: penembak misterius [10], sebuah operasi rahasia binaan Orde Baru) dan kami diluar negeri relatif jauh dari bahaya penghilangan ekstrajudisial. Saya melihat brain drain ini dari kaca mata positif bagi. Bagi saya luka itu masa lalu sudah terbalut oleh waktu dan harapan masa depan.
Bagi generasi muda Indonesia, saya harap agar generasi muda berpandangan kritis terhadap apa saja yang terjadi di Indonesia, supaya giat merangkum informasi dan terbuka untuk berdialog sebelum memutuskan pendapat. Jauhkan diri dari fanatisme dan radikalisme apapun bentuknya. Belajarlah dari sejarah bangsa, agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan generasi tua. Sensitiflah terhadap fenomena-fenomena yang ingin memberangus dan merevisi demokrasi dan humanisme.

RM:In relazione alla nostra esperienza del 1965, ci furono vari fattori che portarono a molteplici risultati. La politica del Nuovo Ordine ci proibì di ritornare a casa, se fossimo tornati saremmo finiti in prigione o uccisi da cecchini [nota dell'autore: durante il Nuovo Ordine di Suharto, esisteva una cerchia ristretta di cecchini meglio conosciuti come assassini Petrus [11] [en]. Furono sviluppati dal regime per silenziare le critiche con il pretesto di “salvaguardare la pace pubblica”] e rimanendo all'estero rimanevamo al sicuro dalle azioni extragiudiziali e dalle finte sparizioni. Vedo la fuga di cervelli con una mentalità positiva. Per me, le ferite passate sono state curate dal tempo e dalla speranza per il futuro. Per la generazione di giovani indonesiani, spero che siano in grado di mantenere un pensiero critico nei riguardi di ciò che accade in Indonesia, e che sappiano raccogliere informazioni e dibattere prima di dare il proprio consenso alle cose. Distanziatevi da qualunque fanatismo o radicalismo. Imparate dalla storia della nostra nazione, così non commetterete gli errori delle vecchie generazioni. Siate attenti nei confronti di ogni evento che possa distruggere o modificare la democrazia e l'umanità.